Cari Alamat Web Lain

Sabtu, 20 Februari 2010

Wilayah Mamta ( 87 Suku )


Persebaran Suku Perkabupaten dan Kota

1. Kota Jayapura

Skou

Nafri

Kayu Pulo

Enggros Tobati


2. Kabupaten Jayapura

Jouwarri

Jokari

Tepra

Yewena/Yongsu

Moi

Sentani

Kemtuk

Gresi

Namblong

Guai

Airu

Yapsi

Demta

Kapori

Kaureh

Kawamsu

Mekwei

Narau

Oria

Ormu

Bauwi

Sause

Tabla

Tarpia

Taworta

Tofamna

Yamna


3. Kabupaten Keerom

Emem

Senggi

Waris

Draa

Awyi

Dubu

Janggu

Manem

Molof

Sangke

Taikat

Usku

Waina

Yafi


4. Kabupaten Sarmi dan Kabupaten Mamberamo

Sobey

Armati

Rumbuai

Manirem

Isirawa

Akwakai

Airoran

Anus

Baburiwa

Bagusa

Bapu

Bauzi

Kwerba

Dabra

Tor

Berik

Betaf

Bonerif

Bongo

Foau

Itik

Kabera

Kapitiauw

Kauwera

Keder

Kwesten

Liki

Mander

Maremgi

Masimasi

Massep

Mawesi

Papasena

Podena

Samarokena

Wakde

Wares

Waritai

Yarsun




Profile Geografis dan Topografi Suku-suku di Tanah Papua



Sebuah Kajian Kultural Etnografis

Pulau Papua yang luasnya kurang lebih 3,5 kali pulau Jawa secara ekologis itu terdiri atas empat zona yang masing-masing menunjukkan diversifikasi terhadap system mata pencaharian mereka berdasarkan kebudayaan dan sebaran suku bangsa-suku bangsanya. Menurut Malcoln dan Mansoben(1987; 1990), kelompok etnik yang beraneka ragam di Papua tersebar pada empat zona ekologi yaitu: (1) Zona Ekologi Rawa atau Swampy Areas, Daerah Pantai dan Muara Sungai atau Coastal & Riverine, (2) Zona Ekologi Daerah Pantai atau Coastal Lowland Areas, (3) Zona Ekologi Kaki-Kaki Gunung serta Lembah-Lembah Kecil atau Foothills and Small Valleys, dan (4) Zona Ekologi Pegunungan Tinggi atau Highlands. Orang-orang Papua yang hidup pada mitakat atau zona ekologi yang berbeda-beda ini mewujudkan pola-pola kehidupan yang bervariasi sampai kepada berbeda satu sama lainnya. Penduduk yang hidup di wilayah zona ekologi rawa, daerah pantai dan muara sungai sebagaimana terdapat di:

1. Jayapura ( teluk Humboldt: Skou, Yotefa, Imbi; Tanah Merah: Ormu, Tabla, Demta; Pantai Utara: Bonggo, Podena, Yarsum, Betaf; Tor: Mander, Berik, Kwersupen; Sarmi:Kwerba, Isirawa, Sobei, Samarokena, Masep; Mamberamo:Warembori, Pauwe, Warewek, Bauzi, Nopuk; Sentani: Sentani, Dosai, Maribu), Kelompok suku bangsa-suku bangsa ini semuanya mempunyai mata pencaharian utama sebagai peramu sagu dan sebagai pendamping kebun kecil, menangkap ikan (sungai dan laut).

2. Yapen Waropen (Mamberamo Barat: Karema, Nita; Waropen: Sauri, Waropen, Kofei, Tefaro, Siromi, Baropasi, Bonefa; kelompok suku bangsa ini semua mempunyai mata pencaharian sebagai peramu sagu, kebun kecil, menangkap ikan di sungai dan laut. Krudu: Krudu; Yapen: Woriasi, Ambai, Serui Laut, Yawe, Busami, Ansus, Pom, Woi, Munggui, Marau, Pupui; kelompok suku bangsa-suku bangsa ini mempunyai mata pencaharian utama sebagai peramu sagu, ditambah dengan kebun kecil, menangkap ikan di sungai dan laut sebagai pendamping.

3. Biak Numfor; dengan mata pencaharian sebagai peramu sagu, ladang berpindah dan menangkap ikan di laut dan sungai sebagai pendamping.

4. Paniai; Nabire: Windesi, Mor, Yaur, Mer, Yeretuar, kelompok ini bermata pencaharian utama ladang berpindah dengan pendamping meramu sagu, menangkap ikan di sungai dan laut.

5. Manokwari; Wandamen: Roon, Mioswar, Rumberpon, Wandamen; Arfak: Mantion, Hatam, Borai; Amberbaken, kelompok ini bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah, dan pendamping menangkap ikan di sungai dan laut. Sedangkan Bintuni: Tanah Merah, Babo, Arandai, Kemberano, Meninggo, Kaburi, kelompok ini bermata pencaharian utama meramu sagu, ladang berpindah, menangkap ikan di laut dan sungai sebagai pendamping.

6. Sorong: Karon bermata pencaharian utama ladang berpindah, menangkap ikan di sungai dan laut sebagai pendamping; Moi: bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah, meramu sagu dan menangkap ikan di sungai sebagai pendamping. Raja Ampat: Kawe, bermata pencaharian utama meramu sagu dan menangkap ikan di laut dan sungai serta kebun kecil sebagai pendamping. Sedangkan orang Maya, Beser/Biak, Matbat bermata pencaharian utama meramu sagu, ladang berpindah-pindah serta menangkap ikan di laut dan sungai sebagai pendamping. Seget; Teminabuan: Kalabra, Tehit, Kon, Yahadian, Kais; Inanwatan: Suabau, Puragi, Kokoda, kelompok ini bermata pencaharian utama meramu sagu, kebun kecil serta menangkap ikan di sungai dan laut sebagai pendamping.

7. Fakfak: Onin, Iha, Karas, Baham, Buruwai; Kaimana: Mairasi, Semini, Koiwai bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah, meramu sagu, menangkap ikan di sungai dan laut sebagai pendamping; Arguni: Kamberau, Irarutu, Mairasi bermata pencaharian utama meramu sagu, berkebun kecil serta menangkap ikan di laut dan sungai sebagai pendamping. Mimika: Kamoro bermata pencaharian utama, meramu sagu, berkebun kecil, menangkap ikan di laut dan sungai sebagai pendamping.

8. Merauke; Asmat, Awyu, Yagai Citak bermata pencaharian utama meramu sagu dan berkebun kecil serta menangkap ikan di laut dan sungai sebagai pendamping. Kimaam: Riantana, Kimaghama, Koneraw; Marind-anim: Yab-anim, Maklew-anim, Kanum-anim, Bian-anim bermata pencaharian utama meramu sagu dan kebun kecil, serta menangkap ikan di sungai dan laut sebagai pendamping.

Adapun wilayah yang masuk dalam zona kaki gunung dan lembah-lembah kecil di (1) Jayapura, Nimboran: Genyem, Nimboran, Kemtuk Gresi; Arso; Waris,; Foya dan Uta bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah serta menangkap ikan di sungai dan berburu sebagai pendamping. (2) Paniai dengan suku bangsa Timorini: Dou, Kiri-kiri, Turu, Taori-Kei Fayu bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah serta menangkap ikan di sungai dan berburu sebagai pendamping. (3) Manokwari dengan suku bangsanya Arfak: Hatam, Meyah, Mantion/Sough; Amberbaken bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah serta menangkap ikan di sungai dan berburu serta beternak babi sebagai pendamping. (4) Sorong dengan suku bangsa Karon, Madik, Maibrat, Moraid bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah serta ternak babi, menangkap ikan di sungai dan berburu sebagai pendamping. (5) Fakfak dengan suku bangsa Fakfak: Baham, Irarutu, Amungme, bermata pencaharian utama berladang berpindah, beternak babi dan menangkap ikan di sungai serta berburu sebagai pendamping. (6) Merauke dengan suku bangsa Muyu, Mandobo bermata pencaharian utama berladang berpindah, beternak babi dan berburu serta menangkap ikan di sungai sebagai pendamping. Adapun wilayah yang penduduknya berada pada zona daerah pantai umumnya bermata pencaharian utama meramu sagu dan menangkap ikan di laut serta berkebun kecil dan berburu sebagai pendamping. Disamping itu pula ada upaya lain berupa berdagang.

Buku Pemetaan Suku-suku Di Tanah Papua


Sambutan Gubernur Propinsi Papua

Dengan memanjatkan Puji dan Syjukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, saya selaku Gubernur Propinsi Papua menyambut dengan gembira terbitnya buku “Peta Suku Bangsa (Etnik) di Tanah Papua”. Sebagai salah satu pembinaan di bidang kebudayaan.

Jumlah suku-suku asli Papua yang mendiami Tanah Papua, dengan keaneka ragaman budaya itulah yang menjadi dasar berpijak untuk membangun kebudayaan mereka secara kokoh. Oleh sebab itu penetapan jumlah 248 suku asli di Tanah Papua melalui hasil penelitian dan seminar oleh tim yang terdiri dari : Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih (UNCEN), Dinas Kebudayaan Pripinsi Papua, Summer Institute Linguistic (SIL), Dewan Adat Papua (DAP), Badan Pusat Statistik Propinsi (BPS). Yang melibatkan tokoh adat, Agama, Masyarakat, Perempuan, Pemuda, Seniman dan Budayawan sebagai perwakilan dari 7 (tujuh) wilayah adat yang meliputi : Mamta, Saireri, Domberai, Bomberai, Ha-Anim, La-Pago dan Mi-Pago. Ini merupakan data informasi pemetaan terbaru melalui hasil seminar. Semoga informasi terbaru ini tentang jumlah suku-suku asli di Tanha Papua ini dapat dipergunakan dalam berbagai aspek kajian dan evaluasi dalam membantu program pembangunan dari pemerintah maupun dari pihak lainya, pada saat ini dan kedepannya. Semoga kerja keras dan usaha kita untuk memjukan kebudayaandi Tanah Papua bias memberikan pelajaran berharga bahwa “Bangsa yang kuat adalah Bangsa yang menghargai dan tidak melupakan Budaya Leluhurnya”. Karena hal itu suatu kekuatan identitas yang mendasar dalam segala aspek pembangunan terutama pembangunan di bidang kebudayaan.

Kepada semua pihak yang telah membantu sehingga memungkinkan diterbitkanya buku “Peta Suku Bangsa di Tanah Papua” ini, tidak lupa saya ucapkan terimakasih.

Jayapura, Desember 2008

GUBERNUR PROPINSI PAPUA

BARNABAS SUEBU, SH


Sambutan Kepala Dinas Kebudayaan Propinsi Papua

Propinsi Papua memiliki keaneka ragaman budaya yang merupakan suatu potensi yang besar selain potensi alamnya, untuk itu perlu perhatian baik dari segi pembinaan maupun segi pelestarianya. Memang tidak dapat disangkal bahwa di Papua memiliki suku-suku yang sangat banyak. Oleh karena itu Dinas Kebudayaan Propinsi Papua bekerja sama dengan Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih (UNCEN), Summer Institute Linguistic (SIL), Dewan Adat Papua (DAP), Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Papua, berupaya mengumpulkan data tentang seluruh suku-suku di wilayah Tanah Papua secara implisit.

Memang selama ini angka yang digunakan untuk menyatakan jumlah suku bangsa di wilayah Papua adalah 250, bahkan ada peryataan 253 dan beberapa angka lain, tanpa ada pembuktian yang valid. Dari hasil pengumpulan data oleh tim dan setelah di seleksi dan ditetapkan melalui seminar yang melibatkan tokoh Adat, tokoh Agama, tokoh Perempuan, tokoh Pemuda dan tokoh Masyarakat mewakili 7 wilayah adat yaitu : Wilayah Adat Mamta, Wilayah Adat Saireri, Wilayah Adat Bomberai, Wilayah Adat Domberai, Wilayah Adat Ha-Anim, Wilayah Adat La-Pago, Wilayah Adat Mi-Pago, ternyata sebanyak 248 suku. Penetapan jumlah 248 suku asli ini merupakan data informasi sementara dan terbaru. Melalui hasil penelitian dan seminar. Untuk itu diharapkan semoga dapat dipergunakan dalam berbagai aspek kajian dan evaluasi dalam membantu program pembangunan dari Pemerintah maupun pihak lainya.

Diiringi rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, selaku Kepala Dinas Kebudayaan Propinsi Papua menyambut dan sekaligus mengharapakan dengan terbitnya buku “Peta Suku Bangsa di Tanah Papua”. Ini dapat menambah perbendaharaan pengetahuan di Bidang Kebudayaan bagi masyarakat terutama bagi dunia pendidikan.

Saya menyambut baik usaha awal Tim Pengumpul Data dan Penulis dai Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih, Summer Institute Linguistic, Dinas Kebudayaan Propinsi Papua, Dewan Adat Papua, Badan Pusat Statistik Propinsi Papua.yang telah berhasil mengumpulkan dat dan menulis “Peta Suku Bangsa di Tanah Papua”untuk menjadi bahan suplemen muatan lokal bidang kebudayaan bagi pendidikan dasar sampai Perguruan Tinggi di Tanah Papua. Kiranya Tuhan Memberkati usaha maksimal ini.

Jayapura, Desember 2008

KEPALA DINAS KEBUDAYAAN PROPINSI PAPUA


Daftar Isi :

Sambutan Gubernur Propinsi Papua Papua ……………………. 2

Sambutan Kepala Dinas Kebudayaan Propinsi Papua………… 3

Selayang Pandang Sejarah Suku-suku Di Tanah Papua

(Sebuah Gambaran Kajian Sejarah) …………………………… 5

Profile Topografi dan Geografi Suku-suku di Tanah Papua

(Sebuah Kajian Kultural Etnografis) ……………………………. 7

Skema Foto Proses Pembuatan Sagu …………………………… 10

Pemetaan Suku Bangsa di Tanah Papua …………………………11

7 (Tujuh) Wilayah Pembagian Adat ……………………………. 12

Wilayah Adat 1 Mamta ………………………………………… 13

Wilayah Adat 2 Saireri …………………………………………. 15

Wilayah Adat 3 Bomberai ……………………………………… 17

Wilayah Adat 4 Domberai ……………………………………… 19

Wilayah Adat 5 Ha-Anim ………………………………………. 21

Wilayah Adat 6 La-Pago ……………………………………….. 23

Wilayah Adat 7 Mi-Pago ………………………………………. 25

Pemetaan Suku Bangsa di Tanah Papua Sarana Rekonsiliasi

Eksitensi Budaya Papua Saat ini ………………………………… 27

Kepustakaan ……………………………………………………. 29


Selayang Pandang Sejarah Suku-suku di Tanah Papua Sebuah Gambaran Kajian Sejarah

“Orang Papua” yang sekarang kita kenal sebagai sebutan untuk suku bangsa-suku bangsa yang berada di pulau paling timur dari kawasan Nusantara ini (pulau Irian) telah mengalami beberapa kali penamaan berdasarkan perkembangan sejarah. Pulau Irian yang berbentuk seekor burung raksasa, dimana 47% yang merupakan kepala, tengkuk, punggung, leher, dada dan perut dinosaurus adalah wilayah Irian Jaya, dan 53% sisanya yang merupakan ekor adalah wilayah Papua New Guinea (PNG).

Bagian kepala pulau Irian disebut “Doreh” (lima gigi) oleh para pelaut Indonesia, karena semenanjung yang meruncing dengan teluk-teluk yang sempit (teluk Wandamen, teluk Umar, teluk Beraur, teluk Sebakor, dan teluk Arguni). Dalam peta-peta Belanda, daerah ini disebut “ Vogelkop Schiereiland”. Sedangkan bagian belakang kepala dan tengkuknya dibentuk oleh teluk Cenderawasih ( dalam peta Belanda disebut Geelvink Baai) yang terdapat pulau Yapen, Biak Numford, Supriori, dan pulau kecil lainnya. Dibagian punggung ada tanjung dengan garis pantai yang membujur kearah timur dengan deretan pegunungan yang sejajar garis pantai yang merupakan tulang punggungnya. Bagian leher, dada dibentuk oleh suatu garis pantai yang membujur dari daerah Kepala Burung kearah timur. Dibagian selatan terletak pulau Yos Sudarso (Kimaam) yang terpisah dari pulau besar Irian Jaya yang menyerupai lengan dinosaurus.

Orang Belanda menyebut pulau Irian dahulu yaitu Niew-Guinea oleh seorang pelaut Spanyol, Ynigo Ortiz de Retes (1545) yang menyebut “Neuva Guinea(Guinea Baru). Penduduk Irian (Papua) yang berkulit hitam mengingatkannya kepada penduduk pantai Guinea di benua Afrika (Naber, 1915: 527-533). Sebutan lain juga adalah “Papua” yang mula-mula dipakai oleh pelaut Portugis Antonio d’ Arbreu yang mengunjungi pantai Papua pada tahun 1551. Nama itu kemudian dipakai oleh Antonio Pigafetta pada waktu berada di laut Maluku pada tahun 1521. Kata “Papua” berasal dari kata Melalyu “Pua-pua” yang berarti “keriting (Stirling, 1943: 4).

Dalam konferensi Malino 1946 nama “Iryan” diusulkan oleh F. Kaisepo. Kata itu berasal dari bahasa Biak yang artinya “Sinar matahari yang menghalau kabut di laut”, sehingga ada “harapan bagi para nelayan Biak untuk mencapai tanah daratan Irian. Pengertian lain dari kata ini juga pada orang Biak, bahwa Iraian itu berasal dari dua kata yaitu “Iri” dan “an”. Iri berarti “panas” dan an berarti “tanah”. Jadi artinya tanah yang panas. Masyarakat Marind-anim di pantai selatan mengatakan kata Irian berarti tanah air” Akhirnya presiden Soekarno mempopulerkan kata Irian sebagai kata yang pertama dari singkatan “Ikut Republik Indonesia Anti Nederland”.

Ciri dan Identitas Orang Papua

Orang Papua tidak pernah diteliti oleh para ahli mengenai cri-ciri ras. Hanya beberapa orang dokter dan ahli antropologi ragawi saja yang telah melakukan pengukuran tinggi badan dan indeks ukuran tengkorak pada beberapa individu dibeberapa tempat yang terpencar. Bahan-bahan itu belum cukup untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh tentang ciri-ciri fisik masyarakat di Papua. Menurut H.J.T. Bijlmer (1923). Ada kecenderungan bahwa orang Papua makin jauh dari pantai makin pendek tubuhnya, demikian pula bentuk tengkorak penduduk pantai umumnya lonjong dan makin kearah pedalaman bentuknya menjadi sedang. Indeks ukuran bagian-bagian muka pada beberapa penduduk pantai ada yang lebar, namun tidak jarang pula ada orang pantai yang panjang bentuk mukanya, dan didaerah pedalaman keadaannyapun sama (Koentjaraningrat, 1993). Seorang ahli ragawi Belanda J.P. Kleiweg de Zwaam mengatakan bahwa suatu “ras papua” atau “ras Irian” itu tidak ada. memang diantara penduduk papua sendiri ada perbedaan ciri-ciri ras khusus. Kebinekaan ciri-ciri ras pada berbagai penduduk asli Papua lebih jelas terlihat melalui ciri-ciri ras fenotip mereka, yaitu warna dan bentuk rambut, walaupun dalam hal ini tidak ada keseragaman. Warna rambut orang papua hampir semuanya hitam tetapi tidak semuanya keriting. Penduduk yang tinggal di sepanjang sungai Mamberamo, rambutnya banyak yang berombak dan bahkan ada pula yang lurus, sedang ada pula yang lurus dan kejur (Neuhauss, 1911).


Informasi Selanjutnya Tentang Buku Ini Bisa Menghubungi Alamat (Laboratorium Kebudayaan Papua Dinas Kebudayaan Propinsi Papua) dan Kontak Person Hp.08124859662 - Habel Samakori